Selasa, 13 April 2010

Sistem Interface Input/Output antara Sistem Digital dan Sistem Analog

Penggunaan komputer saat ini tidak lagi terbatas pada pengolahan dan manipulasi data saja tetapi sudah digunakan untuk mengkontrol berbagai peralatan seperti penghitung pulsa telepon, menyalakan/mematikan lampu secara otomatis, dan lain sebagainya. Dengan penggunaan komputer seperti yang telah disebutkan di atas maka seolah-olah komputer berperan sebagai manusia yang dapat diprogram untuk menjalankan apa yang dikehendaki oleh programmernya.

Antara sistem digital (sebagai pengontrol) dan sistem analog (sebagai peralatan yang dikontrol) harus terdapat suatu jembatan yang menghubungkan kedua sistem tersebut. Jembatan ini selanjutnya disebut sistem interface IO. Jadi untuk sistem kontrol secara digital ini selalu terdiri dari 3 bagian yaitu : sistem digital, sistem interface IO dan sistem analog. Sistem digital merupakan sistem yang menjadi otak dari sistem secara keseluruhan. Sistem digital ini membaca kondisi dari sistem analog melalui sistem interface IO dan mengkontrol sistem analog melalui sistem interface IO. Sistem kontrol secara digital ini menggantikan sistem kontrol manual yang menggunakan switch mekanik dan diatur secara manual pula. Selain itu dengan sistem kontrol secara digital ini, kondisi sistem analaog yang dikontrol dapat pula dimonitor keadaannya. Sistem analog merupakan bagian dari peralatan analog yang aktivitasnya dikontrol oleh sistem digitalnya melalui sistem interface IO. Sistem analog dapat berupa lampu bolam 220 volt, motor AC, bahkan sampai ke peralatan industri yang menggunakan arus besar. Disini terlihat bahwa sistem interface IO sangat penting peranannya yaitu untuk menginterfacekan sistem digital yang hanya mengenal kondisi ‘H’, yang ekuivalen dengan tegangan 4.5 volt sampai 5 volt dan kondisi ‘L’ yang setara dengan tegangan dibawah 1.2 volt dengan sistem analog dengan tegangan 220 VAC dengan konsumsi arus yang paling tidak 1A ke atas. Dari kondisi seperti di atas maka perlulah bagian digital dan bagian analog ini dilewatkan sistem interface yang secara elektronik terisolasi antar bagiannya. Teknik interface IO disini ada beberapa teknik dan tiap teknik tersebut mempunyai keistimewaan pada aplikasi tertentu.

Contoh Aplikasi
Dengan menggunakan sebuah PC diharapkan dapat mengkontrol 10 buah titik lampu yang menyala/mati pada jam-jam tertentu. Melalui sebuah PPI card (dengan menggunakan chip PPI 8255) dapat dikontrol 24 buah beban. Output PPI adalah TTL level sedangkan untuk lampu yang digunakan adalah lampu TL biasa. Untuk menginterfacekan antara PPI (sistem digital) dengan lampu (sistem analog) digunakan relay 5volt. Contoh aplikasi ini adalah salah satu contoh penggunaan relay sebagai interafce antara sistem digital dan sistem analog.

Sistem Interface I/O
Sistem interface I/O yang paling baik adalah sistem interface dimana sistem digital dan sistem analognya terisolasi, terpisah. Biasanya digunakan relay atau optocoupler. Penggunaan relay lebih mudah namun lebih sering menimbulkan masalah karena relay dapat menghasilkan noise pada sistem digital pada saat relay berubahan keadaan. Selain itu penggunaan relay membutuhkan daya yang lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan optoisolator. Sistem interface yang baik pada umumnya menggunakan optoisolator atau yang lebih dikenal dengan optocoupler sepert 4N31 atau 4N35. Dengan menggunakan optocoupler arus yang digunakan lebih sedikit paling tidak 10 mA -15 mA.

Gambar 1
Blok Diagram
Penggunaan optocoupler seperti 4N35 lebih disukai daripada penggunaan relay secara langsung.

Optoisolator
Optoisolator merupakan komponen yang digunakan sebagai komponen kontrol I/O untuk peralatan yang beroperasi dengan tegangan DC atau AC. Sebuah optocoupler terdiri dari GaAs LED dan phottransistor NPN yang terbuat dari silicon. Untuk rangkaian penggunaan optoisolator dapat dilihat pada gambar 3a dan 3b. Pada gambar 3a. optoisolator mendapat input TTL berbentuk sinyal kotak sehingga outputnya juga berupa sinyal kotak namun level tegangan berubah menjadi 0-+24 volt.

Gambar 2
Optoisolator


Gambar 3
Penggunaan Optoisolator
Pada gambar 3b optoisolator digunakan pada input yang termodulasi dengan tegangan Vin terisolasi dengan Vout modulasi yang tegangan puncaknya +12V. Faktor yang paling penting pada interface I/O terutama untuk beban yang menggunakan tegangan AC maka isolasi merupakan hal yang paing penting dan harus diperhatikan dalam disain. Sistem digital menggunakan level tegangan +5volt sedangkan beban menggunakan tegangan 220VAC. Perbedaan tegangan ini sudah cukup untuk menyebabkan sistem kontrol digital, PC misalnya, untuk rusak jika port pada komputer ini menerima tegangan imbas dari beban 220VAC.

Gambar 4
Aplikasi Optoisolator
Dengan skematik pada gambar 4, optoisolator mendapatkan tegangan 115VAC namun arusnya dilewat hanya 8mA dan arus sebesar ini sudah cukup untuk membuat phototransistor aktif dan logika yang diterima inverter menjadi ‘low’. Dengan rangkaian ini kita mendapatkan pulsa periodik dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi tegangan PLN 50/60Hz tetapi berbentuk pulsa kotak. Dengan adanya pulsa pada Pulse Out maka dapat dipastikan bahwa masih ada tegangan pada jaringan PLN sedangkan jika sudah tidak terdapat pulsa lagi maka dapat dipastikan tegangan jaringan PLN adalah 0 VAC. Kerugian atau keburukan dari optocoupler adalah pada kecepatan switchingnya. Hal ini disebabkan karena efek dari area yang sensistif terhadap cahaya dan timbulnya efek kapasitansi pada ‘junction’-nya. Jika diperlukan kecepatan switching yang cukup tinggi maka optoisolator harus dikonfigurasikan sehingga yang digunakan adalah sebagai photodiode-nya seperti tampak pada gambar 5.

Gambar 5
Diode-Diode Optocoupler
Cara lain untuk melakukan isolasi antara rangkaian tegangan tinggi dengan rangkaian tegangan rendah adalah menggunakan relay. Kelemahan dari relay adalah harga sebuah relay dengan kapasitas arus yang besar cukup mahal, ukuran dimensi relay besar sehingga PCB yang digunakan semakin besar pula, menimbulkan sinyal noise, dan responnya lambat. Sedangkan dengan menggunakan optocoupler, ukurannya kecil sehingga ukuran PCBnya menjadi lebih kecil dan pada akhirnya perlatan tersebut menjadi kecil pula, kecepatan responnya lebih cepat.

Penggunaan Solid State Relay (SSR)
Pada pembahasan di atas, relay tetap dapat digunakan namun untuk saat ini lebih disukai penggunaan solid state relay karena ada dua pertimbangan yaitu efek noise yang ditimbulkan tidak terlalu besar dan harga solid state relay relatif lebih murah dari pada sebuah relay dengan kualitas yang sama.

Gambar 6
Rangkaian Ekuivalen Solid State Relay
Ada satu faktor lagi yang perlu diperhatikan untuk mengendalikan beban yang menggunakan tegangan AC. Yaitu pada masalah waktu aktivasinya. Karena tegangan untuk AC selalu berubah-ubah maka aktivasi pada solid state relay harus dilakukan pada saat tegangan AC pada saat mendekati nol volt. Tujuannya adalah untuk memperpanjang umur solid state itu sendiri karena jika aktivasi SSR ini pada saat tegangan AC nya berada pada tegangan 220VAC misalnya, maka akan timbul ‘surge current’ yang dapat menimbulkan arus yang sangat besar dan pada akhirnya menyebabkan solid state relay tersebut rusak. Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka untuk penggunaaan solid state relay harus pula diserta dengan rangkaian zero crossing detector. Rangkaian zero crossing detector ini akan mendeteksi kapan tegangan VAC ini pada nilai nol volt. Dengan adanya pemberitahuan keadaan ini maka kapan aktivasi solid state relay dapat ditentukan dan solid state relay dapat bekerja dengan baik.
 Gambar 7
Rangkaian Zero Crossing (Isolated)
Pada gambar 7 merupakan rangkaian zero crossing detector yang menggunakan sistem yang terisolasi dengan menggunakan transformer step down. Teknik ini paling aman digunakan namun biaya pembuatannya relatif lebih mahal karena masih menggunakan transformer. Dengan adanya rangkaian sistem interface antara tegangan tinggi dan tegangan rendah maka diharapkan tidak terjadi rusaknya port mikrokontroller atau PC karena mendapat imbas tegangan tinggi dari aplikasi seperti motor AC. Sensor medan magnet memang jarang digunakan namun keberadaan perlatan ini tetap diperlukan. Beberapa sensor memang menghasilkan detektor medan yang baik namun sukar dalam konstruksinya. Untuk itu diperkenalkan sebuah sensor lain yang dikenal dengan ‘fluxgate magnetometer’. Sensor fluxgate magnetometer ini merupakan sensor kuat medan magnet yang mengukur kuat-lemahnya medan magnet secara absolut. Konstruksi dan penggunaannya juga sangat sederhana, tidak seperti rangkaian detektor medan dengan teknik BFO (Beat Frequency Oscilator). Rangkaian detektor medan magnet dengan menggunakan fluxgate magnetometer (FGM), yang selanjutnya disebut dengan fluxgate, sangat sederhana dan mudah dalam pengaplikasian dan konstruksinya. Selain itu alat ini berukuran kecil, mudah dibawa kemana-mana tanpa menampakkan bahwa alat ini adalah detektor medan magnet.
Gambar 1
Blok Diagram Detektor Medan Magnet dengan Menggunakan Fluxgate

Fluxgate Magnetometer
Komponen ini merupakan salah satu kompnen yang dapat mendeteksi kuat medan magnet selain komponen hall effect sensor. Pemakaian fluxgate sedikit berbeda dengan pemakaian pada hall effect sensor karena yang dioutputkan oleh komponen fluxgate adalah berupa pulsa-pulsa kotak 0 – 5volt dengan frekuensi tertentu yang berkaitan dengan polaritas dan kuat medan magnet yang diterima oleh fluxgate. Dengan bentuk output seperti ini maka output fluxgate dapat langsung diumpankan pada gerbang logika (TTL) karena outputnya sudah pada level TTL. Teknik yang digunakan untuk mengalikasikan fluxgate hampir sama dengan teknik BFO. Frekuensi output untuk fluxgate pada kondisi normal (tanpa pengaruh medan magnet) adalah pada 64.736KHz. Sinyal dengan frekuensi ini harus diturunkan dulu menjadi sekitar 32.368KHz agar ketika dicampur dengan sinyal referensi akan terbentuk sinyal dengan frekuensi yang dapat didengarkan oleh indera penderngar manusia.

Untuk membagi 2 frekuensi output dari fluxgate digunakan komponen digital D flip-flop yaitu MC4013. Pada MC4013 ini terdiri dari dua buah D flip-flop dimana salah satunya digunakan sebagai mixer dari osilator yang dibentuk dari IC opamp U2, TL081. Frekuensi output sinyal osilator ini pada 32.768KHz diumpankan pada input clock2 D flip-flop. Konfigurasi ini secara tidak langsung membentuk rangkaian mixer secara digital.

Output dari Q2 merupakan level digital yang mempunyai variasi frekuensi cukup baik dan dapat di dengar perubahannya. Frekuensi output Q2 berkisar pada frekuensi 100Hz.

Gambar 2
Rangkaian Lengkap Detektor Medan Magnet
Resistor R3 berfungsi untuk menghasilkan negative feedback yang cukup kecil sedangkan R4 akan membatasi arus output opamp yang mengalir menuju kristal agar kristal bekerja pada daerah operasi yang baik.

Rangkaian R5 dan C6 akan membentuk sebuah LPF orde satu untuk menapis sinyal dengan frekuensi tinggi sebelum sinyal ini dikuatkan lagi untuk akhirnya diumpankan pada sebuah speaker. Kuat-lemahnya bunyi ditentukan oleh besar-kecilnya nilai resistor R6. Apabila volume suara masih kurang keras maka nilai resistor R6 dapat diturunkan sampai didapatkan volume suara yang dinginkan.

Selanjutnya rangkaian dioda D1, D2, C10 dan C12 akan membentuk sebuah rangakaian charge pump sederhana yang nantinya akan men-drive led. Rangkaian charge pump ini akan bekerja jika level output dari TL082 (U3) pada level yang cukup tinggi sehingga led akan tampak berkedip jika sensor mendapatkan medan magnet yang cukup kuat.

Pengaturan nilai R5 dan C6 yang merupakan LPF ini sangat berperan dalam penentuan waktu penyalaan led. Dengan kata lain led akan menyala setelah didapatkan medan magnet dengan kekuatan tertentu.

Semakin kuat medn magnet yang diukur oleh fluxgate maka semakin tinggi pula output frekuensinya sehingga pada akhirnya semakin tinggi pula frekuensi sinyal yang lewat pada rangkaian LPF tersebut. Sehingga nilai C6 dan R5 harus dibuat sedemikian rupa sehingga pada kuat medan magnet tertentu akan menyalakan led. Tetapi dengan nilai R5 dan C6 pada skematik sudah cukup untuk kondisi pada umumnya.
Secara keseluruhan rangkaian ini tidak jauh berbeda dengan detektor medan magnet sebelumnya namun disini, sensor yang digunakan mempunyai karakteristik yang berbeda dan menarik untuk dipelajari dan diaplikasikan. Selain itu konstruksi untuk sensornya tidak sulit, cukup dengan menyambungkan 3 buah kabel saja

1 komentar:

  1. mantap bos !! thanks ilmunya


    tomi(bloger86@yahoo.com)

    BalasHapus